Zhu De adalah seorang pemimpin militer Tiongkok yang berasal dari Sichuan. Dia adalah satu dari 15 bersaudara yang lahir dalam keluarga petani. Menurut ceritanya sendiri, ayahnya menenggelamkan lima saudaranya sendiri karena tidak mampu memeliharanya. Untuk keluar dari kemiskinan, Zhu diadopsi oleh seorang paman yang mendorongnya untuk masuk ke Akademi Militer di Kunming. Di sana, Zhu mencapai prestasi yang tinggi dan sering dipilih untuk memimpin para taruna setiap kali ada kunjungan pejabat tinggi.
Setelah lulus, Zhu mengalami masa-masa sulit. Dia menggunakan bakat militernya untuk menjadi seorang panglima perang yang kejam dan juga kecanduan opium, yang membuatnya terseret selama beberapa tahun hingga tahun 1922.
Setelah berhasil keluar dari jeratan narkotika, Zhu berangkat ke Eropa di mana ia belajar taktik-taktik yang digunakan oleh Jerman selama Perang Dunia I. Dari Jerman, ia pergi ke Uni Soviet dimana ia mempelajari doktrin militer Soviet dan Marxisme.
Pada periode tersebut, Zhu bergabung dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Setelah kembali ke Tiongkok, dia bertemu dengan Mao Zedong, yang pada saat itu sedang berperang melawan kaum nasionalis Tiongkok untuk merebut kekuasaan. Keduanya bekerja sama dengan baik, dengan Mao unggul dalam aspek strategi dan intelektual, sementara Zhu menggunakan keahlian militer untuk mendukung perjuangan mereka. Bersama-sama, mereka menjalankan taktik gerilya yang membawa kemenangan bagi PKT setelah Perang Dunia II.
Setelah kemenangan PKT, Zhu menduduki posisi tinggi dalam partai. Dia juga menjadi komandan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Tiongkok. Sebagai komandan, ia memimpin operasi besar-besaran TPR Tiongkok ke semenanjung Korea selama Perang Korea. Setelah konflik tersebut, ia menjadi salah satu dari sepuluh marsekal di TPR dan dianggap sebagai salah satu pendiri TPR.
Meskipun persahabatannya dengan Mao, pada tahun 1969, saat dimulainya Revolusi Kebudayaan, Zhu dipecat dari jabatannya dan diasingkan ke Guangdong. Kontribusinya bagi TPR dihapus dari sejarah Tiongkok. Namun, kondisi ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1973, Revolusi Kebudayaan mulai mereda dan Mao mengembalikan Zhu ke Beijing, dan mengangkatnya sebagai kepala negara pada tahun 1975. Zhu menjabat sebagai kepala negara selama satu tahun, sampai meninggal pada tahun 1976.
Kontribusinya pada teori perang gerilya sangat dihargai. Meskipun Mao lebih sering dipuji untuk ini, sebenarnya Zhu yang memiliki pendidikan militer dan pengalaman yang diperlukan untuk menjalankan perang gerilya. Latar belakang itulah yang digunakan Zhu untuk memimpin perang non-konvensional PKC. Strategi yang diterapkan Zhu mengilhami dan diikuti oleh banyak gerakan gerilya dari pertengahan abad ke-20 hingga saat ini.