Pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan rencana untuk mengumpulkan pajak dari pedagang eceran mulai 2026. Pedagang eceran masuk ke dalam kategori usaha dengan aktivitas shadow economy tinggi yang selama ini sulit dipantau dan dipungut pajak. Langkah ini termasuk dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026, dengan sektor perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan sebagai target utama.
Menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP), shadow economy adalah aktivitas ekonomi yang tidak terdeteksi dan tidak dikenakan pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani berharap bahwa langkah ini akan membantu pemerintah mencapai target penerimaan pajak yang ambisius tanpa perlu menaikkan tarif pajak. Pemerintah akan lebih fokus pada sektor-sektor dengan aktivitas shadow economy tinggi seperti perdagangan eceran, makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan.
Integrasi data dan pemetaan pedagang juga akan menjadi langkah penting dalam upaya ini. Pemerintah telah memetakan pelaku usaha di sektor shadow economy sejak 2025 melalui Compliance Improvement Program (CIP) dan analisis intelijen. Integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) telah dimulai sejak awal 2025 untuk memantau dan memproses data lebih efisien.
Meski target penerimaan pajak 2026 naik 13,5 persen, Kementerian Keuangan menegaskan bahwa tidak akan ada kenaikan tarif baru. Fokus utama tetap meningkatkan kepatuhan pajak dari wajib pajak. Pemerintah juga berkomitmen untuk mengatasi shadow economy dengan reformasi internal perpajakan, termasuk melalui sistem CTAS dan pemungutan PPN atas transaksi digital lintas negara.
Total penerimaan negara tahun depan ditargetkan mencapai Rp 3.147,7 triliun, naik 9,8 persen dari tahun sebelumnya. Sri Mulyani menyatakan bahwa target tersebut cukup ambisius mengingat pertumbuhan ekonomi yang rendah dalam beberapa tahun terakhir. Langkah-langkah ini diharapkan akan membantu memperkuat basis pajak negara tanpa harus membebani wajib pajak dengan tarif baru.