Bagaimana Diplomasi Luar Negeri Indonesia Akan Terlihat di Era Presiden Prabowo Subianto?
Sebagai putra dari Sumitro Djojohadikusumo, banyak yang menduga bahwa banyak dari strategi diplomasi Prof. Sumitro akan diwarisi dan dilaksanakan oleh anaknya, Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Pendekatan ini melibatkan memanfaatkan kekuatan narasi dan kekerabatan untuk membangun kekuatan lunak Indonesia.
Dikenal sebagai seorang ekonom Indonesia terkemuka, tidak banyak yang menyadari bahwa Prof. Sumitro juga merupakan seorang diplomat yang luar biasa.
Salah satu contoh signifikan dari upaya diplomasi Prof. Sumitro tertangkap dalam sebuah artikel di New York Times.
Permohonan Sumitro kepada Pemerintah Amerika Serikat pada usia 31 tahun, yang dipublikasikan di New York Times pada 21 Desember 1948, berhasil menghentikan aliran dana bantuan Amerika ke Belanda, yang digunakan untuk operasi militer Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Prof. Sumitro menulis:
“Pengepungan militer Belanda saat ini telah membawa kenyataan yang mengerikan dari dugaan yang telah dibawa dalam pikiran semua orang yang baik hati. Dalam sejarah modern bangsa-bangsa, hanya serangan Signor Mussolini pada tahun 1940 dan serangan mendadak Jepang ke Pearl Harbor pada tahun 1941 dapat dibandingkan dengan tindakan Belanda yang tidak bertanggung jawab ini tanpa peringatan.”
“Tidak ada pilihan lain bagi Republik Indonesia selain menjalani hidupnya sendiri dan melanjutkan sebaik-baiknya sebagai negara merdeka dan berdaulat.”
“Kami dengan hormat namun dengan segera meminta Pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan pemberian dolar Amerika kepada Belanda dalam Program Pemulihan Eropa atau lainnya.”
Pada saat itu, Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto, menjabat sebagai Kepala Pelaksana Delegasi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Setelah Perang Dunia II, Belanda pada dasarnya bangkrut dan bergantung pada bantuan rekonstruksi Amerika di bawah Rencana Marshall, yang disalahgunakan untuk mendanai operasi militernya di Indonesia.
Sumitro, yang saat itu baru 31 tahun, diberi tugas oleh Presiden Sukarno untuk menghentikan dana Amerika yang digunakan oleh Belanda untuk ambisi kolonialnya di Indonesia.
Sumitro melakukan kampanye kepada pejabat AS di Washington dan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.
Berkat upaya Sumitro, Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett akhirnya menghentikan bantuan kepada Belanda, karena klaim Sumitro terbukti: dana tersebut digunakan untuk operasi militer di Indonesia.
Penghentian bantuan memaksa Belanda untuk bernegosiasi dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Usia muda Sumitro dan kecerdasannya dalam narasi dan negosiasi, serta keterampilan jaringan internasionalnya, membuat Presiden Sukarno memberinya tugas yang sangat penting.
Kesuksesan diplomasi naratif dan kekerabatan Sumitro memainkan peran penting dalam menjamin kemerdekaan Indonesia setelah proklamasi.
Presiden Sukarno menunjuk Sumitro sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat pada usia 33 tahun.