Oleh Prabowo Subianto, kutipan dari “Strategi Transformasi Nasional: Menuju Indonesia Emas 2045,” halaman 211-212, edisi softcover keempat.
Koperasi pada dasarnya tentang menyamakan peluang. Mereka ada untuk memberdayakan mereka yang kurang beruntung, oleh karena itu pembaruan koperasi dalam ekonomi kita sangat penting.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus menguatkan koperasi dengan merugikan sektor swasta. Jauh dari itu. Doktrin ekonomi kita mendorong persaingan: biarkan sektor swasta, badan usaha milik negara (BUMN), dan koperasi bersaing untuk kemajuan.
Tetapi koperasi yang bertugas mendukung atau memberdayakan yang kurang beruntung. Prinsip ini bukan tentang menciptakan oposisi tetapi tentang bergerak maju bersama.
Oleh karena itu, sektor swasta, BUMN, dan koperasi sama-sama memiliki peran dalam mendorong ekonomi bangsa kita. Masing-masing, dengan kekuatan uniknya, dapat memberikan kontribusi yang signifikan. Pendekatan ini sudah terbukti sukses di negara-negara seperti Korea, Thailand, Malaysia, Vietnam, dan China.
Ada waktu ketika koperasi Indonesia menjadi kecemburuan banyak negara, yang datang untuk belajar dari inisiatif kita seperti BIMAS dan BULOG, dan perjalanan kita menuju swasembada.
Saya yakin dengan kepemimpinan yang tepat, koperasi di Indonesia dapat berkembang dan menjadi alat yang kuat untuk kesetaraan.
Ya, akan ada tantangan dan kegagalan.
Sebagai contoh, mari bicara tentang produksi dan distribusi pupuk. Pupuk diproduksi oleh pabrik-pabrik milik negara, oleh rakyat, bukan begitu? Uang rakyat membangun pabrik-pabrik itu. Modal kerja adalah uang rakyat. Tetapi, setelah pupuk diproduksi dan siap didistribusikan, pupuk itu berakhir di tangan distributor swasta. Pada masa Presiden Suharto, era Orde Baru, tidak seperti ini. Distribusi pupuk ditangani oleh koperasi, koperasi unit desa (KUD).
Karena beberapa melihat koperasi tidak sejalan dengan prinsip pasar bebas, mereka digantikan oleh perusahaan swasta. Dengan privatisasi, distribusi jatuh ke tangan perusahaan terbatas (PT), membawa skenario yang terlalu akrab di Indonesia, bukan? Nepotisme menjadi pusat perhatian.
Oleh karena itu, kita perlu kembali ke prinsip-prinsip yang benar. Ini adalah milik rakyat, dibangun dengan uang rakyat, didanai oleh anggaran negara – uang rakyat; distribusinya juga harus melalui rakyat, melalui koperasi dan pemerintah jika perlu.
Selain menjadi alat untuk kesetaraan, koperasi juga dapat mendorong swasembada kita. Tetapi ini membutuhkan upaya yang bersungguh-sungguh, pemikiran, dan komitmen yang serius. Kita tidak bisa memperlakukannya seperti bisnis biasa. Ini bukan tugas biasa. Kita harus mendekatinya sebagai usaha nasional.