Berita  

KUHP baru tetap menghormati prinsip “living law”

Semarang (ANTARA) – Meskipun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan diberlakukan pada tanggal 2 Januari 2026, para akademisi mulai bersiap-siap untuk mempertahankan eksistensi hukum adat dan masyarakat hukum adat.

Sebelum bertemu dengan Wakil Ketua Mahkamah Agung Dr. H. Sunarto, S.H., M.H. di Gedung MA, Jakarta, pada Kamis (14/3), Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung telah mengadakan seminar nasional dengan tema Dinamika Peradilan Adat di Indonesia Pasca-Berlakunya KUHP Baru di Bandung, Jawa Barat, 17—18 Februari 2024.

Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, Ph.D., S.H., M.H., seorang Guru Besar di Fakultas Hukum Unpar, menegaskan bahwa peradilan adat didasarkan pada tiga prinsip, yaitu prinsip kearifan lokal, prinsip keadilan sosial, dan prinsip hak asasi manusia.

Prinsip kearifan lokal menjelaskan bahwa peradilan adat didasarkan pada tradisi yang telah diterima secara luas dalam masyarakat adat secara turun-temurun. Prinsip keadilan sosial menekankan pentingnya terwujudnya rasa keadilan dalam masyarakat secara umum. Sedangkan hak asasi manusia menekankan pentingnya perlindungan HAM oleh negara.

Menurut hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Singgih Budi Prakoso, S.H., M.H., pemberlakuan UU Nomor 1 Tahun 2023 tidak menghilangkan keberlakuan hukum adat yang berlaku dan diakui dalam masyarakat, yang menentukan bahwa seseorang dapat dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam undang-undang.

Singgih juga memberikan contoh putusan pidana adat yang akhirnya diakui oleh lembaga peradilan, seperti Putusan Mahkamah Agung No. 984K/Pid/1996. Singgih juga menyebutkan kasus Marcel Radhival yang dituntut dalam persidangan adat karena meragukan pengobatan Ibu Ida…

Putusan pidana adat memiliki kekuatan magis dan efek jera yang kuat, sehingga memiliki efek yang lebih kuat untuk mencegah ulang perbuatan yang melanggar adat. Putusan adat juga efektif, tidak ada banding, prosesnya singkat dan sederhana, serta biayanya ringan.

Menurut Singgih, para hakim harus memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dalam menjatuhkan putusan. Hakim harus mengadili dengan mempertimbangkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Namun, hukum harus diinterpretasikan oleh hakim.

Diperlukan hakim progresif yang dapat mengatasi permasalahan di masyarakat agar putusan yang diambil dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak secara adil dan mengembalikan keadaan semula tanpa penyalahgunaan.