Jakarta (ANTARA) – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memperpanjang masa penahanan Bupati Maluku Utara nonaktif Abdul Ghani Kasuba (AGK) selama 40 hari untuk keperluan penyelidikan dan untuk melengkapi alat bukti.
“Lama penahanan tersebut berlaku hingga 16 Februari 2024 di Rutan KPK dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan penyidikan,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri ketika dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Ali mengatakan bahwa perpanjangan masa penahanan juga dilakukan untuk tersangka lain yang ditahan bersama AGK, yaitu Kadis Perumahan dan Pemukiman Pemprov Maluku Utara Adnan Hasanudin (AH), Kadis PUPR Pemprov Maluku Daud Ismail (DI), Kepala BPPBJ Pemprov Maluku Utara Ridwan Arsan (RA), ajudan gubernur Ramadhan Ibrahim (RI), serta pihak swasta Stevi Thomas (ST) dan Kristian Wuisan (KW).
Untuk diketahui, konstruksi perkara yang menjerat Abdul Ghani Kasuba dan para tersangka lainnya dimulai ketika Pemprov Maluku Utara melaksanakan pengadaan barang dan jasa dengan anggaran dari APBD.
Selama menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara, AGK turut serta dalam menentukan pihak kontraktor yang akan memenangkan lelang proyek konstruksi.
Untuk melaksanakan tugasnya, AGK kemudian memerintahkan AH, DI, dan RA untuk melaporkan proyek-proyek yang akan dikerjakan di Provinsi Maluku Utara.
Total anggaran proyek infrastruktur jalan dan jembatan di Pemprov Maluku Utara mencapai lebih dari Rp500 miliar, termasuk pembangunan jalan dan jembatan ruas Matuting-Rangaranga, serta pembangunan jalan dan jembatan ruas Saketa-Dehepodo.
AGK kemudian menetapkan besaran setoran dari para kontraktor berdasarkan proyek-proyek tersebut.
Selain itu, AGK juga sepakat dan meminta AH, DI, dan RA untuk memanipulasi progres pekerjaan agar anggaran segera dicairkan.
Beberapa kontraktor yang memenangkan lelang dan memberikan uang kepada AGK melalui RI adalah KW dan ST. Keduanya memberikan uang untuk pengurusan perizinan pembangunan jalan oleh perusahaannya.
Teknis penyerahan uang dilakukan secara tunai maupun melalui rekening penampung dengan menggunakan nama pihak lain. Penggunaan rekening penampung ini adalah hasil ide antara AGK dan RI, dan buku rekening serta kartu ATM tetap dipegang oleh RI.
Uang yang masuk ke rekening penampung tersebut mencapai sekitar Rp2,2 miliar, dan digunakan untuk kepentingan pribadi AGK seperti pembayaran menginap hotel dan pembayaran dokter gigi.
Tersangka ST, AH, DI, dan KW disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, AGK, RI, dan RA sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.