Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku 1 Kepemimpinan Militer: catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Terkait erat dengan tantangan besar utama yang dihadapi oleh ekonomi kita, yaitu aliran keluar kekayaan Indonesia ke luar negeri, adalah situasi yang dapat kita sebut sebagai ketidakadilan ekonomi. Ketidakadilan ekonomi itulah yang menyebabkan banyak rakyat kita masih hidup dalam kemiskinan dan kesulitan.
Menurut data BPS, rasio Gini pendapatan penduduk Indonesia pada tahun 2020 adalah 0,38. 1% orang terkaya memperoleh 38% pendapatan di Republik Indonesia. Menurut riset lembaga keuangan Credit Suisse, pada tahun 2021 rasio Gini kekayaan penduduk Indonesia mencapai 0,36. 1% orang terkaya menguasai 36% kekayaan.
0,36 adalah ketimpangan kekayaan yang besar dan berbahaya. Ketidakadilan ekonomi ini, jika dipicu dengan tepat, dapat memicu konflik sosial, kerusuhan, dan perang saudara yang berkepanjangan.
Rasio Gini, atau rasio Gini, adalah indikator utama ketimpangan kekayaan di suatu negara. Angka 0,36 untuk rasio Gini kekayaan berarti bahwa 1% dari populasi terkaya di Indonesia memiliki 36% kekayaan Indonesia.
Jika populasi Indonesia berjumlah 270 juta jiwa, maka 36% kekayaan Indonesia dimiliki oleh 2,7 juta orang saja. Sisa 64% dibagi di antara 267,3 juta jiwa.
Bahkan, baru-baru ini ada yang menghitung bahwa harta kekayaan dari empat orang terkaya di Indonesia ternyata lebih besar dari harta 100 juta orang termiskin di Indonesia.
Angka Gini ratio untuk kepemilikan tanah lebih mengkhawatirkan. Lebih mengkhawatirkan, karena bagi saya kekayaan yang sejati adalah kepemilikan tanah.
Data yang diungkapkan oleh Menteri ATR/BPN pada tahun 2020, rasio Gini kepemilikan tanah kita pada tahun 2020 mencapai 0,67. Artinya, 1% populasi terkaya di Indonesia, 2,6 juta orang, memiliki 67% tanah Indonesia. Harus diakui angka ini sudah lebih baik dari sebelumnya karena akhir-akhir ini Pemerintah gencar membagikan sertifikat tanah.
Coba tanyakan ke keluarga dan kerabat saudara. Siapa di antara mereka yang memiliki tanah? Apakah saudara sendiri memiliki tanah? Atau saudara menyewa tanah tempat tinggal saat ini? Apakah petani kita masih memiliki tanah sendiri? Jika iya, berapa rata-rata luas tanah yang mereka miliki? Apakah jumlahnya meningkat atau menurun dibandingkan 10, 20, 30 tahun yang lalu?
Data tahun 2020 dari Kementerian Pertanian, ada 35 juta orang Indonesia yang berprofesi sebagai petani.
Namun lebih dari 75% petani, atau lebih dari 28 juta petani tidak memiliki lahan sendiri. Yang memiliki lahan sendiri hanya 9 juta petani, dan luas lahannya pun kecil.
Saat ini lebih dari 76% populasi Indonesia memiliki akses ke Internet. Karena banyak dari 1% populasi kaya Indonesia yang memamerkan kekayaan di media sosial, ini artinya lebih dari 3/4 populasi kita bisa melihat dengan jelas ketimpangan kekayaan yang terjadi di Indonesia.
Ketika masih banyak rakyat yang kesulitan makan, hidup layak, bahkan diusir dari rumahnya sendiri, rakyat bisa dengan mudah melihat ada kelompok kecil di Indonesia yang hidup mewah dan berlebih.
Berbicara tentang ketimpangan, saya ingin mengutip buku tulisan Niall Ferguson, yang berjudul The Great Degeneration.
Dalam buku ini, yang ditulis sebelum pandemi COVID 19, Niall mewawancarai seribu pelaku ekonomi, CEO dari perusahaan-perusahaan besar di dunia. Kepada mereka, dia bertanya, “menurut Anda, apa ancaman terhadap ekonomi dunia, terutama negara berkembang?”
Mereka, seribu pelaku ekonomi, menjawab:
Inflasi
Pecahnya investasi aset
Korupsi
Radikalisasi
Bencana alam
dan pandemi penyakit seperti SARS
Sebagai contoh, kita bisa melihat sekarang, dengan instabilitas politik, pertumbuhan ekonomi Myanmar dan Afghanistan tersendat. Jika ada ketidakjelasan politik, sistem ekonomi tidak berjalan dengan baik.
Niall Ferguson ini seorang ahli sejarah. Selain menanyakan pendapat para pelaku ekonomi, dia juga menanyakan pendapat para ahli sejarah.
Para ahli sejarah yang dia wawancarai mengatakan: “Kalau semua yang disebutkan tadi terjadi, ditambah lagi jika jumlah penduduk sebagian besar suatu negara adalah orang muda antara 18 sampai 30 tahun, dan jika harga pangan naik, ancamannya adalah revolusi, kerusuhan, perang saudara.”
Niall mencatat, “ini sedang terjadi di Timur Tengah.” Menurutnya apa yang disebut sebagai Arab Spring itu terjadi karena ada hal-hal ini. Instabilitas terjadi di Timur Tengah adalah akibat dari faktor-faktor tersebut.
Menurut saya, kita harus bertanya kepada diri kita: Faktor-faktor ini, elemen-elemen ini ada tidak di Republik Indonesia saat ini?
Sekarang, jika saja di setiap desa ada 10 anak putus sekolah, yang usianya antara 15 sampai 22 tahun. Jika ada 10 anak di satu desa, dan kita punya 80.000 desa. Sepuluh kali 80.000, artinya ada 800.000 pemuda yang tidak mengerti harus melakukan apa. Mereka kasihan melihat orangtuanya. Di beberapa tempat, mereka mencari kayu untuk hidup. Mereka mungkin juga menggembala untuk membantu ternak orangtuanya. Namun, pendapatannya sangat sedikit. Pada usia yang sangat produktif, mereka harus memiliki cita-cita, memiliki harapan. Jika mereka hidup tanpa harapan, ini adalah sesuatu yang rawan. Mereka bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang punya niat yang tidak baik.
Inilah sebabnya, mengapa saya katakan kita harus waspada.
Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa kerusuhan, revolusi, dan perang saudara dapat dipicu oleh 7 hal:
Inflasi
Harga pangan naik
Ledakan penduduk
Pengangguran meningkat
Ketimpangan pendapatan
Radikalisme ideologi, dan
Korupsi.
Hampir semuanya sekarang ada di Republik Indonesia. Karena rasio Gini kita sekarang 0,36, jika ada pemantik yang tepat, Indonesia dapat terjerumus dalam kerusuhan, revolusi, dan perang saudara yang berkepanjangan. Kita harus waspada.
Source link: https://prabowosubianto.com/ketidakadilan-ekonomi/