Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga ikut diperiksa oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) secara tertutup pada Selasa petang terkait laporan masyarakat terhadap Putusan MK dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Arief diperiksa secara tertutup di gedung yang sama dengan pemeriksaan terhadap Ketua MK Anwar Usman, yaitu Gedung II MK, Jakarta. Ketika tiba di halaman gedung pada pukul 17.24 WIB, Arief terlihat mengenakan setelan jas berwarna abu-abu dan kemeja berwarna hitam.
Sebelum masuk ke lokasi pemeriksaan, Arief sempat menjawab pertanyaan awak media. Dia menyatakan bahwa dia akan memberikan keterangan mengenai semua hal yang dia ketahui saat memeriksa dan memutus perkara syarat usia capres dan cawapres tersebut.
“Oh iya harus diberikan. Hakim tidak boleh bohong. Harus jujur,” tegas Arief.
Namun, Arief enggan untuk mengungkapkan hal-hal apa saja yang ingin dia sampaikan kepada anggota MKMK. Dia juga mengaku tidak mempersiapkan hal tertentu untuk pemeriksaan tersebut.
“Belum disampaikan ke MKMK, saya sampaikan di sini, ga boleh, dosa,” kata Arief sambil tertawa.
Lebih lanjut, pada pukul 16.10 WIB, Anwar Usman sudah lebih dulu diperiksa selama kurang lebih satu jam oleh tiga anggota MKMK, yaitu Jimly Asshiddiqie, Wahiduddin Adams, dan Bintan R. Saragih.
Sebelumnya, Ketua MKMK, Jimly, mengatakan bahwa pihaknya menyelenggarakan dua sidang pada hari Selasa, yaitu sidang terbuka untuk memanggil para pelapor dan sidang tertutup untuk memeriksa hakim konstitusi selaku terlapor.
“Sidang pelapor di pagi hari jam 09.00; sidang untuk hakimnya di malam hari,” kata Jimly setelah pertemuan tertutup dengan sembilan hakim konstitusi di Gedung MK, Jakarta, pada Senin (30/10).
Pada hari Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian dari gugatan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A., seorang warga negara Indonesia (WNI) dari Surakarta, Jawa Tengah.
Dalam gugatannya, Almas meminta agar syarat usia calon presiden paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Putusan tersebut menjadi kontroversial karena dianggap penuh dengan konflik kepentingan. Laporan masyarakat yang menyinyalir adanya pelanggaran kode etik hakim konstitusi saat memeriksa dan memutus perkara tersebut kemudian bermunculan.
Jimly mengatakan bahwa hingga Senin (30/10), pihaknya telah menerima 18 laporan terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh para hakim MK dalam putusan tersebut.
“Jadi, sekarang sudah ada 18 laporan, ada tambahan dua laporan pada hari ini. Dari 18 laporan tersebut, ada enam isu. Selain itu, terdapat sembilan hakim yang dilaporkan, tetapi laporan yang paling penting, utama, dan banyak adalah Pak Anwar Usman,” ujar Jimly.
Sumber: ANTARA