Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan bahwa pencopotan kepala daerah tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, termasuk dalam kasus desakan untuk memberhentikan Bupati Pati Sudewo dari jabatannya. Menurut aturan yang berlaku, penonaktifan kepala daerah hanya memungkinkan dalam situasi di mana kepala daerah ditahan karena kasus pidana, mengundurkan diri, atau tidak mampu bekerja karena sakit berat yang dibuktikan dengan keterangan dokter.
Tito menjelaskan bahwa bahkan dalam kasus kepala daerah yang dimakzulkan oleh DPRD, pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan otomatis untuk menonaktifkan. Contohnya adalah kasus pemakzulan bupati di Jember beberapa tahun yang lalu, di mana proses hukum tetap berjalan namun kepala daerah tetap menjabat karena tidak ada regulasi yang mengatur penonaktifan otomatis oleh Kemendagri.
Pernyataan Tito ini muncul di tengah meningkatnya desakan publik terhadap Bupati Pati Sudewo. Sejak pertengahan Agustus, ribuan warga Pati menggelar demonstrasi menuntut Sudewo mundur sebagai dampak dari kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Meskipun kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan, gelombang protes terus berlanjut karena adanya kekecewaan terhadap kebijakan lain, seperti program lima hari sekolah, regrouping sekolah, dan PHK ratusan tenaga honorer RSUD RAA Soewondo.
Pada Senin (1/9), sekitar 350 warga Pati mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta untuk mendesak penetapan Sudewo sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pembangunan jalur kereta api di Jawa Tengah. Sebelumnya, DPRD Kabupaten Pati telah membentuk pansus untuk memproses usulan pemakzulan Sudewo, namun Sudewo menolak mundur dengan alasan dipilih langsung oleh rakyat. Menyusul hal ini, pemerintah pusat menekankan bahwa seluruh proses penonaktifan kepala daerah harus sesuai dengan hukum yang berlaku.