Perdebatan mengenai keabsahan ijazah Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo, kembali mencuat ke publik. Meskipun telah ada bantahan dari pihak Jokowi, isu tersebut tetap menjadi perbincangan hangat di media sosial dan kanal diskusi digital. Beberapa pihak mempertanyakan keaslian ijazah yang digunakan Jokowi saat mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai lembaga penerbit ijazah Jokowi menyatakan kesiapan untuk membuka data jika ada perintah resmi dari pengadilan terkait dugaan ijazah palsu. Wening Udasmoro, Wakil Rektor I UGM, menegaskan bahwa Jokowi adalah alumni Fakultas Kehutanan UGM dan lulus pada 5 November 1985. Meskipun demikian, opini publik terbelah dan banyak yang kembali menyoroti aturan hukum terkait pemalsuan ijazah.
Penggunaan ijazah palsu bukan hanya masalah etika, tetapi juga tindakan pidana dengan konsekuensi hukum serius. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa setiap orang yang menggunakan ijazah palsu dapat dikenai hukuman pidana hingga lima tahun penjara dan/atau denda hingga Rp500 juta. Ancaman hukuman juga berlaku bagi pihak yang membantu memalsukan atau menerbitkan dokumen palsu. Selain itu, hukum pidana umum juga mengatur sanksi untuk pemalsuan dokumen, termasuk surat yang dapat menimbulkan hak, menciptakan kewajiban, atau digunakan sebagai alat bukti. Bagi pelaku pemalsuan surat yang menyebabkan kerugian, dapat dijatuhi hukuman penjara hingga enam tahun. Aturan hukum ini berlaku tidak hanya untuk ijazah, tetapi juga untuk dokumen resmi negara lainnya seperti akta, surat izin, atau pernyataan hukum.