Wacana mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak sah dan dapat dibatalkan tidak memiliki dasar hukum yang kuat, menurut Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi, Munafrizal Manan. Munafrizal menyatakan bahwa MK adalah lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, tidak ada upaya hukum yang dapat menilai putusan MK tersebut tidak sah dan membatalkannya.
Munafrizal menjelaskan bahwa Pasal 17 Ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mengharuskan hakim mengundurkan diri jika memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, sulit dijadikan dasar hukum untuk membatalkan putusan MK. Hal ini disebabkan oleh adanya benturan norma antara ketentuan hukum yang lebih tinggi dan yang lebih rendah.
Menurut Munafrizal, dasar hukum putusan MK yang bersifat final adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara hierarki lebih tinggi daripada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Dia menegaskan bahwa hukum yang lebih rendah tidak dapat dan tidak boleh menggugurkan hukum yang lebih tinggi.
Selain itu, tidak ada ketentuan yang mengatur prosedur dan mekanisme pemeriksaan ulang dan pembatalan putusan MK. Munafrizal berpendapat bahwa ketentuan Pasal 17 Ayat (5) dan (6) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman hanya berlaku untuk lembaga peradilan di lingkungan Mahkamah Agung yang putusannya tidak langsung final karena ada hierarki kelembagaan bertingkat seperti tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
Munafrizal juga menyarankan perlunya pembenahan internal di MK, melalui penyempurnaan hukum acara dan tata kelola penanganan perkara yang lebih jelas dan tegas. Dia berpendapat bahwa MK perlu membuat pedoman baku mengenai penerapan judicial activism (aktivisme yudisial) dan judicial restraint (pembatasan yudisial) sebagai panduan bagi hakim konstitusi dalam menjaga konsistensi putusan MK dan kepastian konstitusional.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah. Putusan ini menimbulkan kontroversi karena diduga sarat dengan konflik kepentingan. Masyarakat melaporkan adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi yang memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Dalam menghadapi perdebatan mengenai putusan MK, Munafrizal mengakui bahwa hal tersebut adalah hal yang biasa karena ada pihak yang merasa puas dan tidak puas dengan putusan peradilan. Dia juga menyadari bahwa kewenangan MK, termasuk pengujian undang-undang, memiliki dimensi politik yang erat. Namun, Munafrizal meyakini bahwa hakim konstitusi memiliki independensi dalam memutus perkara.
Karena itu, laporan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi harus didasarkan pada bukti kuat. Munafrizal berharap bahwa putusan dari Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tidak akan menimbulkan kegaduhan baru.