Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasipenkum) Kejaksaan Tinggi Sulsel, Soetarmi, mengatakan bahwa ada potensi tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi mafia tanah pembayaran ganti rugi lahan Bendungan Paselloreng yang merugikan negara sebesar Rp13,2 miliar.
“Tidak menutup kemungkinan ada tersangka baru atas perbuatan melawan hukum dan orang yang dianggap bertanggung jawab. Tapi, kita lihat nanti pemeriksaan selanjutnya,” ungkap Soetarmi saat menggelar konferensi pers kasus tersebut bersama enam tersangkanya di Kantor Kejati Sulsel, Makassar, Sulsel, pada Kamis malam.
Soetarmi menjelaskan bahwa hingga saat ini tim penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sulsel telah memeriksa 157 saksi dan telah menetapkan enam tersangka. Penetapan enam tersangka dilakukan setelah mereka menjalani pemeriksaan selama 12 jam dari pukul 10.00 Wita sampai pukul 22.00 Wita.
Para tersangka langsung ditahan selama 20 hari terhitung mulai 26 Oktober sampai 14 November 2023. Tersangka AA ditahan di Rutan Kelas IA Makassar, sedangkan tersangka AJ, JK, ND, NR, dan AN ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IA Makassar.
Tersangka AA merupakan Ketua Satuan Tugas (Satgas) B pada Kantor Badan Pertanahan (BPN) Kabupaten Wajo. Sementara itu, ND, NR, dan AN adalah anggota Satgas B perwakilan dari masyarakat. Sedangkan, AJ adalah Anggota Pelaksana Pengadaan Tanah (P2T) sekaligus Kepala Desa Paselloreng, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, dan JK adalah Anggota P2T sekaligus Kepala Desa Arajang, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.
Soetarmi menjelaskan bahwa kasus dugaan korupsi mafia tanah pembayaran ganti rugi lahan seluas 72 hektar pada proyek strategis nasional pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo tahun 2021 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp13,2 miliar ini bermula pada 2015 saat Balai Besar Wilayah Sungai Pompengan Jeneberang (BBWS) melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.
Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan bendungan tersebut mencakup lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Laparepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng dan Kabupaten Wajo dan telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan Hutan HPT.
Kemudian, dilakukan proses perubahan kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulsel, salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo.
Pada 28 Mei 2019, diterbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan kawasan hutan seluas 91.337 hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 hektar, dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 hektar di Provinsi Sulsel.
Setelah mengetahui adanya kawasan hutan yang dikeluarkan untuk kepentingan lahan genangan Bendungan Paselloreng, tersangka AA memerintahkan beberapa honorer di Kantor BPN Kabupaten Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) sebanyak 246 bidang tanah secara bersamaan pada 15 April 2021.
Selanjutnya, sporadik tersebut diserahkan kepada tersangka AJ selaku Kepala Desa Paselloreng untuk ditandatangani, dan tersangka JK selaku Kepala Desa Arajang juga turut menandatangani sporadik untuk tanah eks kawasan yang termasuk di Desa Arajang.
“Isi sporadik itu diperoleh dari informasi tersangka ND, NR, dan tersangka AN, selaku anggota Satgas B dari perwakilan masyarakat yang mana isi dimasukkan tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan,” jelas Soetarmi.
Ditemukan bahwa 241 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan garapan. Maka, pembayaran terhadap 241 bidang tanah ini telah merugikan keuangan negara sebesar Rp13,2 miliar berdasarkan hasil perhitungan BPKP Provinsi Sulsel.