Setelah bertahun-tahun menjalani sejumlah operasi akibat serangan bom Bali pada 2002, Chusnul Chotimah masih merasakan dampak fisik yang parah. Dengan kekhawatirannya akan akses terhadap pengobatan yang diperlukan, Chusnul merasa terancam akibat pemotongan anggaran yang dilakukan oleh Presiden RI Prabowo Subianto. Pemotongan ini diduga untuk mendanai program-program seperti Makan Bergizi Gratis. Langkah ini menuai kritik karena dianggap dapat menghambat layanan publik dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sambil berjuang untuk pemulihan dari luka-lukanya, Chusnul berharap dapat terus mendapatkan bantuan medis yang sangat dibutuhkan. Namun, pemotongan anggaran yang mencapai lebih dari setengahnya membuatnya cemas akan nasibnya. Meskipun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah menyatakan dukungannya terhadap efisiensi anggaran, namun hak-hak saksi dan korban akan tetap diakomodir.
Dampak dari pemotongan anggaran ini membuat korban bom Bali lainnya, termasuk Chusnul, merasa bahwa hidup mereka semakin sulit. Mereka mengharapkan agar LPSK dikecualikan dari pemotongan anggaran tersebut karena bantuan yang mereka terima sangat vital bagi kelangsungan hidup mereka. Meskipun berusaha untuk bertahan dengan usaha kedai makanannya, Chusnul meminta agar bantuan tersebut tetap tersedia agar ia bisa terus mendapatkan perawatan medis yang sangat dibutuhkan.