Pada saat saya lulus dari Sekolah Komando, penempatan pertama saya di Korps Baret Merah adalah di Grup 1 Para Komando. Saat itu, Korps Baret Merah masih bernama Kopassandha, Komando Pasukan Sandi Yudha. Danjen pada saat itu adalah Brigadir Jenderal TNI Yogie S. Memet, yang kemudian menjadi Letnan Jenderal TNI.
Komandan dari Grup 1 Para Komando saya pada waktu itu adalah Letnan Kolonel Soegito, yang kemudian menjadi Kolonel. Beliau memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar. Meskipun saya tidak begitu dekat dengannya karena saya masih seorang Letnan Dua dan beliau sudah menjadi Komandan Grup, ada beberapa hal tentang kepemimpinan Pak Soegito yang menarik perhatian saya.
Saat saya bergabung, Pak Soegito sedang berada di Timor Timur. Beliau memimpin penerjunan di Kota Dili, Timor Timur pada tanggal 7 Desember 1975. Setelah kembali dari Timor Timur sekitar Januari atau Februari 1976, beliau menceritakan pengalaman operasi penerjunan di sana.
Pak Soegito selalu menyampaikan pesan bahwa seorang prajurit harus siap untuk mati dan perang. Tidak ada perbedaan di antara prajurit Tamtama yang berpangkat rendah dan komandan yang berpangkat tinggi. Semua anggota satuan menghadapi risiko yang sama.
Beliau juga mengatakan bahwa seorang pemimpin harus berada di tengah-tengah anak buahnya. Pak Soegito melakukan hal tersebut. Beliau turut serta dalam serbuan bersama pasukannya dan terlibat dalam pertempuran di Dili sampai Dili berhasil dikuasai.
Beliau menceritakan bahwa di Timor Timur, ada perwira yang gugur dan luka-luka. Dari Pak Soegito, kami mendengar betapa berbahayanya operasi tempur, namun kami yang masih muda semuanya ingin segera terlibat dalam operasi tempur. Kami ingin membuktikan bahwa kami tidak kalah dengan senior kami dan bahwa kami juga prajurit TNI yang setia dan patriotik.
Setelah kembali dari operasi, saya melihat kepemimpinan Pak Soegito dengan mata kepala sendiri. Saat berlari, beliau selalu berlari bersama anak buahnya. Beliau selalu membawa senjata, meskipun sudah menjadi komandan grup. Jika beliau ingin, beliau bisa saja tetap berada di kantor dan tidak keluar. Namun demikian, beliau selalu aktif di lapangan.
Ketika ada olahraga basket di sore hari, beliau selalu ikut bermain bersama kami para perwira. Malam-malam, kami sering diundang untuk bermain gaplek dan domino di rumah beliau. Suasana di TNI pada saat itu penuh dengan keakraban. Pimpinan selalu bersama dengan anak buahnya. Beliau juga humoris dan sering bercanda.
Kemudian ketika melihat karier beliau, selalu ada di pasukan. Bahkan saat beliau pensiun, beliau tidak hidup berlebihan. Kehidupan beliau benar-benar kehidupan seorang prajurit sejati. Saya bersyukur bahwa beliau pensiun sebagai seorang Letnan Jenderal TNI.