Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto, menjadi salah satu penggugat Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait tafsir masa jabatan lima tahun kepala daerah periode 2019-2024 yang berkurang jika digantikan penjabat (PJ) pada Desember 2023.
“Terkait materi gugatan kami yang pertama bahwa kami telah melakukan diskusi dan analisis mendalam, memastikan bahwa ini ada kekosongan norma,” kata Bima Arya di Bogor, Kamis.
Bima Arya merasa ada kekosongan norma dalam penempatan penjabat (PJ) pada akhir 2023 sementara masa jabatan mereka belum berakhir genap lima tahun.
Selain Bima Arya, pemohon lain dalam perkara ini antara lain Murad Ismail (Gubernur Maluku), Emil Elestianto Dardak (Wakil Gubernur Jawa Timur), Dedie A. Rachim (Wakil Wali Kota Bogor), Marten A. Taha (Wali Kota Gorontalo), Hendri Septa (Wali Kota Padang), dan Khairul (Wali Kota Tarakan).
Para pemohon tersebut mempersoalkan norma Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang berbunyi “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.”
Menurut Bima Arya, norma pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon sebagai kepala daerah terpilih karena masa jabatan mereka terpotong.
Poin lain yang tidak kalah penting, kata Bima, adalah soal penuntasan program kerja hingga janji politik yang harus dipastikan kesinambungan perencanaan pembangunan di tahun politik.
Kuasa Hukum Pemohon mengatakan bahwa permohonan yang dilakukan para pemohon ini tidak bertujuan untuk menambah masa jabatan, namun untuk menegaskan masa jabatan para pemohon selama lima tahun.
Sidang selanjutnya akan dilakukan dengan agenda menerima perbaikan dokumen-dokumen pendukung para pemohon yang diminta oleh hakim MK. Kuasa hukum dan para pemohon diberikan waktu hingga tanggal 28 November 2023 untuk melakukan perbaikan.
Penulis: Linna Susanti
Editor: Agus Setiawan
Hak Cipta © ANTARA 2023