Perdagangan satwa atau bagian tubuh hewan dilindungi menjadi permasalahan yang memerlukan perhatian khusus dan penanganan yang serius. Jika hal ini dibiarkan atau aparat kurang tegas menyikapinya maka keberadaan satwa tersebut akan makin cepat punah.
Bagian satwa dilindungi seperti kulit harimau sumatera, taring harimau, taring beruang, sisik trenggiling, maupun gading gajah selalu menjadi sasaran bagi pelaku yang menginginkan pundi-pundi rupiah dengan mengabaikan kelestariannya. Mereka menjualnya di pasar gelap atau melalui media sosial. Bahkan ada juga yang diselundupkan hingga ke luar negeri.
Padahal perbuatan ini diancam pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp100 juta seperti yang telah diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Masih teringat jelas, dua lembar kulit harimau sumatera beserta empat taringnya diamankan dari JI (37), YW (29), dan AI (43) yang diringkus penegak hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Teluk Meranti, Bunut, Kabupaten Pelalawan, pada awal Juni silam.
Berdasarkan hasil penyelidikan, dua kulit binatang buas berbadan loreng ini rencananya akan dijual dengan harga Rp60 juta. Satwa yang populasinya tak lagi banyak ini kian terancam keberadaannya akibat keserakahan beberapa orang.
Sebelumnya pada April 2022, aparat Polda Riau bersama BBKSDA Riau juga menggagalkan perdagangan gading gajah dengan menangkap tiga pelaku yang membawa empat gading gajah di Jalan Lintas Taluk Kuantan-Air Molek, Desa Lebuh Lurus, Kecamatan Inuman, Kabupaten Kuantan Singingi.
Pengungkapan kasus ini berawal dari informasi masyarakat. Tim lalu bergerak dari Pekanbaru untuk penyelidikan lapangan. Akhirnya, pelaku tertangkap dalam sebuah mobil. Masing-masing YO, IS, dan AC alias AN yang berasal dari Sumatera Barat. Mereka membeli barang ilegal itu di wilayah Kecamatan Peranap. Aksinya terendus aparat hingga mereka akhirnya ditangkap.
Barang bukti gading gajah itu panjangnya sekitar 75-80 cm dengan berat 10 kg. Para pelaku mengaku membelinya seharga Rp90 juta dari penjual yang kini masih dalam buruan aparat.
Penangkapan itu bisa saja menjadi contoh dari banyaknya kasus yang bisa saja lolos dari jeratan hukum. Mungkin sudah ada banyak gading gajah atau kulit harimau yang sudah menjadi hiasan di ruang tamu rumah-rumah mewah.
Baru-baru ini, Polda Riau juga mengungkap kasus 41 kilogram sisik trenggiling yang berasal dari Padang Sidempuan, Sumatera Utara, di sebuah mobil travel di Jalan Paus Ujung, Kota Pekanbaru, pada pertengahan September tahun ini.
Rencananya, sisik dari hewan pemakan semut ini akan dijual di Pekanbaru dengan harga Rp3 juta sampai Rp5 juta per kilogram.
Dari keterangan ahli Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, jumlah 41 kilogram sisik ini didapatkan dengan menghabisi nyawa 40-50 trenggiling.
Padahal berkurangnya populasi trenggiling dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan rusaknya pepohonan. Sebab, makanan utama satwa ini adalah semut dan rayap yang merupakan pemakan kayu atau pepohonan. Sesuai julukannya, scaly anteaters, trenggiling mampu melahap semut dan rayap dalam jumlah besar dalam sekali proses mencari makanan.
Semut dan rayap merupakan musuh utama pohon yang memberikan dampak terhadap sistem perakaran dan membuat pohon gampang tumbang. Tak terbayang hal buruk apa yang akan terjadi apabila populasi trenggiling ini kian sedikit.
Pelaksana Tugas Direktur Pencegahan dan Pengamanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI Sustyo Iriyono menilai hukuman yang diatur Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya terlalu ringan untuk menjerat pelaku tindak kejahatan terhadap satwa dilindungi itu.
“Karena itu perlu sanksi (penjara) yang lebih lama lagi untuk memberikan efek jera kepada pelaku,” sebutnya saat menghadiri pengungkapan kasus penjualan sisik trenggiling di Mapolda Riau.
Ditambah lagi, denda maksimal yang hanya Rp100 juta yang tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan keuntungan yang dapat diraup para penjahat dari menjual bagian satwa yang dilindungi itu.
Pada 26 September 2023, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blangkejeren, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, memvonis terdakwa Kamilin dengan pidana penjara selama dua tahun serta denda Rp50 juta subsidair satu bulan penjara dalam perkara penjualan bagian tubuh dan kulit harimau.
Majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 40 Ayat (2) jo Pasal 22 Ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 KUHP.
Sebelumnya, pada 13 April 2023, mantan Bupati Bener Meriah di Aceh, Ahmadi, divonis selama 1 tahun 6 bulan penjara dan dan denda Rp 100.000.000 subsider tiga bulan kurungan karena terbukti terlibat kasus penjualan kulit harimau sumatera.
Ahmadi dinyatakan terbukti melanggar Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 21 ayat (2) huruf d UU No 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 KUHP.
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Bener Meriah yang menuntut 2 tahun 6 bulan (2,5 tahun) penjara dan denda Rp100 juta dengan ketentuan jika tidak sanggup akan diganti dengan kurungan selama 3 bulan (subsider).
Beberapa hukuman penjual organ satwa dilindungi memang jarang divonis maksimal sehingga para pelaku bisa saja nekat melakukan aksinya karena