Proses eksekusi lahan seluas 12.931 meter persegi di Jalan AP Pettarani, Kecamatan Panakkukang, Makassar, Sulawesi Selatan pada Kamis (13/2) berjalan ricuh karena adanya perlawanan dari warga yang telah menetap di lokasi tersebut selama belasan tahun. Gedung serbaguna dan sembilan ruko yang berdiri di atas lahan tersebut, yang telah rata dengan tanah, menjadi sorotan dalam proses eksekusi ini.
Rahmawang Busrah, salah satu pemilik ruko, merasa heran dan kaget karena ruko yang dibeli oleh orang tuanya sejak tahun 2007 menjadi bagian dari lokasi sengketa meskipun memiliki sertifikat hak milik (SHM). Dia juga meminta bantuan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk memastikan keadilan bagi dirinya dan pemilik ruko lainnya, dengan dugaan bahwa mafia tanah turut terlibat dalam kasus ini.
Sengketa lahan ini dimulai sejak tahun 2018 dan berlanjut hingga Andi Baso Matutu memenangkan perkara tersebut setelah melalui proses hukum di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Meskipun klien Andi Baso Matutu memiliki alas hak atas lahan tersebut, kuasa hukumnya, Hendra Karianga, menyatakan bahwa seluruh SHM yang diterbitkan pada saat itu palsu dan akan digugat untuk dibatalkan.
Muhammad Ali, kuasa hukum dan ahli waris Hamat Yusuf, juga mengemukakan keheranannya terkait proses peradilan di Indonesia, khususnya dalam memenangkan orang yang tidak pernah menguasai lahan tersebut. Dia menegaskan kepemilikan SHM dan rinci yang disajikan oleh pihak lawan dalam persidangan adalah palsu. Ali juga menyoroti putusan Komisi Yudisial yang menilai bahwa hakim yang menangani kasus ini tidak adil dan telah menghilangkan alat bukti yang diajukan oleh Ali dalam proses persidangan.
Humas PN Makassar, Sibali, menyatakan bahwa pihaknya tidak dapat mengomentari hasil putusan sidang namun mengimbau warga yang terlibat dalam sengketa lahan untuk mengajukan gugatan baru jika memiliki bukti yang cukup. Meskipun proses hukum telah selesai, warga masih memiliki opsi untuk melakukan perlawanan jika ada bukti baru yang sah.